Biografi Ringkas 5 Ulama' Ahlussunnah Yang Tidak Menikah
Inilah sebagian dari para ulama kita yang rela tidak
menikah karena kesibukan mereka dalam menuntut ilmu.
Namun yang perlu diingat, menikah merupakan sunah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak
semestinya kita tinggalkan. Bahkan dalam keadaaan
tertentu menikah dapat dihukumi wajib ketika seorang
khawatir akan terjatuh pada hal-hal yang diharamkan
jika tidak menikah.
Adapun para ulama tersebut memandang dengan ijtihad
mereka bahwa tidak menikah bagi diri mereka lebih
banyak mendatangkan maslahat dan manfaat bagi umat
ketimbang mereka menikah. Inilah diantara alasan
kenapa mereka tidak menikah. Para ulama tersebut
diantaranya:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [661-728 H]
Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul
Halim Bin Abdus Salam Bin Abdullah bin Al-Khidhir bin
Muhammad bin Taimiyah An- Numairy Al Harani
Adimasqi.
Beliau Rahimahullah adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid
dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran
maupun jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela
dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi
wa sallam yang telah dimatikan oleh banyak orang.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia
yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat,
pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau
berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan
keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan
serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka
menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan
menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan
kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau
harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun
pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di
tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh
memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-
istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah
Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab- kitabnya dapat
selamat.
PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan
pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera
menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang
ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits
negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat
para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun,
beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah
mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa
Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad
Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-
Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada
seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria
sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq,
khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah
yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah
bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan
belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah
mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu
pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad,
beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang
dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika
anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan
besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti
dia.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-
tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk
mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-
kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya
untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama
kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa
sallam .
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras
pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang
telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah
berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah,
sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil
bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih
atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan
masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di
pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak
menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga
terpenuhi cita-citaku.”
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-
sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu,
sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’ dan ilmu
serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.
PUJIAN ULAMA
Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam
Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus
mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu
Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam
yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini.
Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu
Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-
Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para
imam ulama lain.
Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah
melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah
kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah
dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta
lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan:
“Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau
adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan
matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau
tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah
berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan
tercipta manasia seperti anda.”
Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu
Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?”
Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah
beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum
pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia…”
Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak
memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat
sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh,
bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para
ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-
Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia
ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang
mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka
bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu,
orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang
bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai
kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan
mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan
madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum
pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa
dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata
tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu
lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti
terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah,
ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan
penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-
buku.”
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga
berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan
memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-
Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan
dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya
baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan,
amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku
yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap
mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang
tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-
pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan
ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan:
“Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai
rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-
Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara
shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang
menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada
waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati
tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa:
“Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah,
maka itu bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap
beliau.
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah
sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli
ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli
berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat
Islam dari kedzaliman musuh dengan pedangnya, seperti
halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah
dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan
komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan
serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan
sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka
dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang
Amir (penguasa) yang mempunyai diin yang baik dan
benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (di
tengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama
saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk
menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya
tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan
Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri
Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan
beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru
membakar kedengkian serta kebencian para penguasa,
para ulama [busuk] dan orang-orang yang tidak senang
kepada beliau. Kaum munafiqun dan
kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah
hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai
tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
KEHIDUPAN PENJARA
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum
munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan
beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara,
justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira.
Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di
Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku
menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat
kebaikan besar.”
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
“Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!! Aku, taman
dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi,
ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat Kematianku adalah
mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara
ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang
yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh
hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan
fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk
berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah,
Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli
bid’ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin
banyak. Sementara di dalam penjara, banyak
penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya
oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah,
selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan
amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara
menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah.
Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah
mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara
bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan
orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau
dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin
dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar
penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke
penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau
semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut
kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi
pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka.
Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk
merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas
dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat
yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-
surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan
murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa
hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan
berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus
menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga
Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu
Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.
WAFATNYA
Beliau Rahimahullah wafat di dalam penjara Qal’ah
Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang
menonjol, Al-‘Allamah al-Imam Ibnul
Qayyim Rahimahullah .
Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan
dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari
lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah,
berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan,
dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula
beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh
atau delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak
pernah mau menerima pemberian apa pun dari
penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayah
sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang
mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk
para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota
Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua
penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki,
perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati
kepergian beliau.
Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku
ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali
tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi
menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa.
“Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi
jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang
sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad
bin Hambal.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan
dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan
saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga
Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i,
mujahid, pembasmi bid’ah dan pemusnah
musuh. Wallahu a’lam
2. Imam An-Nawawi [631-676 H]
Nasabnya:
Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Muriy bin
Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin
Hizaam An-Nawawi, dinasabkan dengan Kota Nawa
sebuah dusun di daerah Hauran, Suria, dari Damaskus
sekitar dua hari perjalanan. Beliau seorang bermadzhab
Asy-Syafi’i, Syaikhul Madzhab dan seorang fuqaha besar
di zamannya.
Lahir di bulan Muharam tahun 631 Hijriyah di desa Nawa
dari dua orang tua yang shaleh. Ketika berumur sepuluh
tahun mulai menghafal Al-Qur’an dan bacaan-bacaan
fiqih pada para ulama di sana.
Keilmuan Beliau:
Pada suatu hari ada seorang syaikh yang melewati desa
itu, yakni syaikh Yasin bin Yusuf Al-Maraakisyi. Beliau
melihat seorang anak yang tidak suka bermain-main.
bahkan lari darinya sambil menangis karena tidak
sukanya, dan lebih suka membaca Al-Qur’an. Maka
pergilah beliau menemui kedua orang tuanya dan
menasehatkan supaya anak itu dikhususkan untuk
menimba ilmu. Usulan itu pun diterima. Pada tahun 649
Hijriyah diajak bapaknya untuk mendapatkan ilmu yang
lebih sempurna di Madrasah Daarul Hadits, dan tinggal
di Madrasah Ar-Rawaahiyah yang berada di pojok timur
dari masjid Al-Umawi, Damaskus. Dan beliau di sana
menghafal kitab At-Tanbiih selama empat setengah
bulan, dan hafal seperempat bab ibadah dari Kitab At-
Tahdzib sisa tahunnya. Dan dalam waktu yang singkat
dapat mengundang kekaguman ustadz beliau Abi Ibrahim
Ishaq bin Ahmad Al-Maghribi, dan menjadikannya
asisten dalam pelajarannya.
Beliau rahimahullah adalah seorang yang mempunyai
wawasan ilmu dan tsaqafah yang luas. Ini dapat dilihat
dalam kesungguhannya menimba ilmu. Berkata salah
seorang muridnya, yakni ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar,
bahwa beliau setiap hari mempelajari dua belas
pelajaran baik syarahnya maupun tashhihnya pada para
syaikh beliau. Dua pelajaran pengantar, satu pelajaran
muhadzdzab (sopan santun), satu pelajaran gabungan
dari dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim), satu
pelajaran tentang shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al
Lam’u oleh Ibnu Jinni dalam pelajaran nahwu, satu
pelajaran dalam lshlahul Manthiq oleh Ibnu As Sikiit
dalam pelajaran bahasa, satu pelajaran sharaf, satu
pelajaran Ushul Fiqh, dan kadang kitab Al-Lam ‘u oleh
Abi Ishaq dan kadang Al-Muntakhab oleh Fakhrur Raazi;
dan satu pelajaran tentang Asma’u Rijal, satu pelajaran
Ushuluddin, dan adalah beliau menulis semua hal yang
bersangkutan dengan semua pelajaran ini, baik
mengenai penjelasan kemusykilannya maupun
penjelasan istilah serta detail bahasanya.
Beliau adalah seorang yang tekun dan telaten dalam
mudzakarah dan belajar siang dan malam, selama
sekitar dua puluh tahun hingga mencapai puncaknya.
Dan beliau tidak makan kecuali sekali saja yakni ketika
sahur. Beliau seorang yang banyak melakukan shaum
dan belum beristri.
Hasilnya tampak jelas ketika beliau mulai mengarang
kitab tahun 660 H. Ketika itu beliau berumur 30 tahun.
Sebagian karangan beliau yang paling penting
adalah Syarh Shahih Muslim, Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, Riyaadhush Shalihin, Al-Adzkar, Tahdzibul
Asma’ wa Al-Lughaat, Arba’iin An-Nawawiyah dan
Minhaaj fil Fiqhi.
Seorang Alim Penasehat:
Dalam diri Imam Nawawi tercermin sifat-sifat alim, suka
memberi nasehat, seorang yang berjihad di jalan Allah
dengan lisannya, menegakkan kewajiban beramar ma’ruf
nahi mungkar. Seorang yang mukhlish dalam memberi
nasehat, tidak mempunyai tendensi apapun, seorang
yang pemberani, tidak takut celaan di jalan Allah
terhadap orang yang mencelanya. Seorang yang
mempunyai bayan dan hujjah untuk memperkuat
dakwaannya.
Beliau dijadikan rujukan oleh manusia bila mereka
menghadapi perkara yang sulit dan pelik, serta minta
fatwa kepadanya. Dan beliau menanggapinya serta
berusaha memecahkan permasalahannya, seperti ketika
berkenaan dengan hukum penyitaan atas dua taman di
Syam; ketika Damaskus kedatangan penguasa dari
Mesir, dari Raja Bibiris, setelah mereka dapat mengusir
pasukan Tartar, maka wakil (pejabat) baitul maal
menyangka bahwa kebanyakan dari taman-taman yang
berada di Syam tersebut adalah milik negara. Maka sang
raja memerintahkan untuk memagarinya, yakni
menyitanya.
Maka orang-orang melaporkan hal itu kepada Imam An-
Nawawi di Daarul Hadits. Kemudian beliau menulis surat
kepada sang penguasa yang dinyatakan di dalamnya
sebagai berikut:
“Kaum muslimin merasa dirugikan atas adanya
penyitaan hak milik mereka, oleh karena itu mereka
menuntut supaya hak milik mereka dikembalikan. Dan
penyitaan ini tidak dihalalkan oleh seorang ulama’ pun
dari kalangan kaum muslimin. Karena barangsiapa yang
di tangannya sesuatu maka dialah pemiliknya, tidak
boleh seorang pun merampasnya dan tidak dibenarkan
menjadikannya sebagai status miliknya.”
Maka marahlah sang penguasa tersebut terhadap
nasehat yang ditujukan kepadanya itu, lalu ia
memerintahkan supaya gaji syaikh itu dihentikan dan
dicopot dari jabatannya. Akan tetapi orang-orang
menyatakan bahwa syaikh itu tidak mendapat gaji dan
tidak pula mempunyai jabatan. Akhirnya ketika penguasa
itu memandang bahwa tidak bermanfaat lagi surat-
menyurat, maka ia pergi sendiri untuk menemui Imam
An-Nawawi dan hendak mengumpatnya habis-habisan
dan ia ingin mengamuknya. Akan tetapi Allah
memalingkan hati penguasa itu dari berbuat yang
demikian itu dan melindungi Imam An-Nawawi dari hal
semacam itu. Bahkan sang penguasa itu kemudian
mencabut penyitaan dan manusia pun dilepaskan Allah
dari kejahatannya.
Wafatnya beliau:
Beliau rahimahullah wafat pada tahun 676 Hijriyah
setelah menziarahi kubur para guru-gurunya,
mengunjungi para sahabat-sahabatnya serta
menyatakan selamat berpisah dengan mereka, dan
setelah mengunjungi orang tua dan berziarah ke Masjidil
Aqsa dan kuburan Nabi Ibrahim. Kemudian ia kembali ke
Desa Nawa dan kemudian sakit lalu diikuti dengan
meninggalnya beliau pada tanggal 24 Rajab. Ketika
khabar wafatnya beliau sampai di Damaskus, maka
manusia menjadi terkejut dan menangis. Dan kaum
muslimin sangat menyayangkan sekali akan wafatnya
beliau. Maka Qadhi Al-Qudhat Izzuddin Muhammad bin
Ash-Shaigh dan serombongan shahabatnya berangkat ke
Nawa untuk bertakziyah dan menshalatinya di kuburnya.
3. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari [224-310 H]
Nama lengkap beliau adalah Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Khalid Ath-Thabari. Wafat dalam usia
86 tahun. Beliau adalah: Al-Mufassir, Al-Muhaddits, Al-
Faqih, Al-Ushuli, An-Nuzhor, Al-Muqri, Al-Muarrikh, Al-
Hujjah, Al-Lughowi, An-Nahwi, Al-’Arudhi, Al-Adib, Ar-
Rawiyah, As-Sya'ir, Al-Muhaqqiq Al-Mudaqqiq, Al-
Mujtahid Al-Mutlaq dan Al-Mutafannin. berasal dari
Thobaristan.
4. Imam Az-Zamakhsyari [467- 538 H]
Nama lengkap beliau adalah Abu Al-Qasim Mahmud bin
Umar Az-Zamakhsyari Al-Khuwarozmiy. Wafat dalam
usia 71 tahun dan berasal dari Al-Khuwarozmi. Beliau
adalah Al-Lughowi, Al-Adib, An-Nahwi dan Al-
Mufassir.
5. Imam Abu Bakar Al-Anbari [271-328 H]
Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar Muhammad bin
Al-Qasim bin Muhammad bin Basyar Al-Anbari. Wafat
dalam usia 57 tahun , berasal dari Baghdad. Beliau
adalah An-Nahwi, Al-Adib, Al-Mufassir dan Ar-Rowiyah.
from : akhy abu zaid ismail
http://nafas-diri.blogspot.com/2014/01/biografi-ringkas-5-ulama-ahlussunnah.html?m=1
Publish : 01 Maret 2014, 29 robi'u stani 1435 H, 23:10 WITA
Place : Sangatta - Kutim - Kaltim - Indonesia Raya
Sabtu, 01 Maret 2014
Membaca Kisah Pencari Ilmu Sejati
07.11
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar